Alasan

Sebelum Anda membaca, sejak awal Saya informasikan bahwa tulisan ini bersifat sangat subjektif. Oleh karena itu pula, jika dalam tulisan-tulisan sebelumnya Saya menggunakan Bahasa Inggris, kali ini, Saya memilih untuk menulis dengan menggunakan bahasa ibu Saya.

Asimilasi.

Terdapat beberapa alasan mengapa asimilasi sangat penting untuk diimplementasikan oleh setiap individu yang berasal dari suku Bugis dan Makassar. Dua suku serumpun yang mendiami sebuah pulau besar berbentuk K di wilayah bagian tengah Indonesia bernama Pulau Sulawesi. Alasan pertama mengapa kedua suku itu perlu mempelajari atau bahkan meresapi praktek asimilasi adalah tensi. Saya belum sempat melakukan penelitian lebih lanjut tentang korelasi antara budaya kuliner dengan watak dan sikap suatu suku bangsa, namun jika ingin mengambil jalan cepat, beberapa orang mengatakan kalau makanan yang penuh kolesterol berpotensi memicu amarah yang memuncak hingga ke ubun-ubun atau bisa disederhanakan sebagai tensi. Anggap saja hal tersebut dibenarkan, maka spekulasi tentang watak orang-orang Bugis-Makassar yang terkenal bertensi tinggi, dapat dianggap benar karena sehari-harinya mereka diberi asupan bahan bakar yang efektif memicu darah tinggi, seperti coto, konro, dan pallubasa.

Saya pernah mendengar suatu pepatah tentang emosi yang teranalogikan melalui posisi Kris (pedang tradisional Indonesia yang berukuran kecil) dalam pakaian adat orang Bugis-Makassar. Pepatah itu mengatakan bahwa perbedaan antara orang Sulawesi dan orang Jawa terletak pada posisi Kris. Pemaparannya adalah seperti ini, jika orang Jawa kakinya terinjak oleh orang lain, maka sikap yang pertama diambil adalah memberi-tahu orang itu. Amarah yang dianalogikan sebagai Kris, diredam terlebih dahulu, itulah mengapa Kris orang jawa diletakkan di belakang badan. Sementara untuk orang Sulawesi, jika kakinya terinjak oleh orang lain, maka sikap yang diambil adalah menghadrik orang itu sebelum mempertanyakan motif dari orang yang menginjaknya. Karena itulah Kris orang Sulawesi diletakkan di depan, tepat di atas perut bagian kiri. Namun demikian, pepatah hanyalah pepatah, benar salahnya itu adalah tergantung dari persepsi tiap individu.

Alasan kedua mengapa orang Bugis-Makassar sangat perlu melakukan asimilisasi adalah kecenderungan mereka untuk merasa tersinggung dengan sesuatu yang dianggap tidak mengindahi harga diri dan martabat mereka. Dalam budaya Bugis-Makassar, harga diri dan martabat sangat dijunjung tinggi. Tidak perdulii dari kasta apa indvidu itu berasal, jika individu tersebut tergolong suku Bugis-Makassar, maka harga diri dan martabat adalah hal yang seharga dengan darah. Terdapat jargon yang berbunyi, “Siri’na Pacce” yang dapat diartikan sebagai tidak perduli seberapa susah seorang Bugis-Makassar itu dalam kehidupan sehari-harinya, malu harus tetap terjaga. Malu dalam hal ini adalah malu dalam segala-galanya, malu untuk meminta, malu untuk memelas, malu untuk tidak menunjukkan nilai dari suatu martabat, malu karena tidak mampu, dan malu karena tidak berusaha. Oleh karena itu, tidak akan ditemukan seorang Bugis-Makassar tulen yang rela memelas atau mengakui ketidak-mampuannya secara terang-terangan. Kalaupun memang harus meminta, maka tujuan utamanya adalah saudara dekat. Bukan teman apalagi orang lain.

Alasan ketiga mengapa asimilasi sangat diperlukan oleh orang Bugis-Makassar adalah untuk mengakomodasi perbedaan. Hal ini khusus ditujukan untuk mereka saudara-saudara seadat-istiadat yang sedang merantau, tentang perlunya untuk melebur paradigma dengan budaya tempat kita berlayar. Jika tidak, maka yang terjadi adalah pertikaian, baik fisik maupun batin. Dahulu, di masa-masa awal merantau, Sebagai seorang keturunan Bugis-Makassar, Saya sempat merasa sangat terusik melihat seorang dari suku lain memberikan lauk sisa makan siangnya kepada orang lain, dengan alasan sudah kenyang. Meskipun hanya melihat, harga diri Saya terusik akibat mind-set yang masih kental terhadap “Siri’ na Pacce”. Dengan persepsi itu, Saya menangkap bahwa dia menganggap dirinya lebih penting dibandingkan individu lain sehingga dia berhak memberikan sisa makanannya kepada orang lain itu. Jika memang ingin membagi, maka bagilah dari awal sebelum makanan itu disentuh, bukan membagi sisa makanan jika makanan itu sudah tidak diinginkan lagi. Namun, lambat laun, seiring dengan berjalannya waktu, mind set Saya mulai berubah dan mulai bisa menggunakan persepsi berbeda melalui peristiwa itu, dimana Saya belajar untuk menganggap bahwa Lebih baik makanan itu diberikan dan dihabiskan orang lain yang mungkin butuh, dibandingkan harus dibuang begitu saja.

Mengapa persepsi yang berbeda dari akar pandangan adat istiadat Itu penting? Karena seorang perantau tidak boleh memilih. Satu-satunya jalan untuk bisa bertahan adalah dengan berasimilasi. Tidak ada satupun individu berbeda yang bisa bertahan tanpa asimilasi, bahkan seorang Superman perlu menyamar. Seorang Darius perlu ratusan ribu tentara untuk menaklukkan Yunani. Alasan mengapa Kita bisa melihat begitu banyak orang Cina tersebar di dunia dan sepertinya menjadi “penguasa” di beberapa tempat-tempat tertentu? Itu karena mereka pandai berasimilasi. Di tanah kelahiran Saya, warga keturunan Tionghoa bahkan memiliki dialek yang lebih kental dibandingkan orang Bugis-Makassar itu sendiri. Sementara orang Bugis-Makassar yang telah merantau ke pulau seberang lebih dari satu dasawarsa, masih tetap tidak ingin terlihat berjalan kaki, meskipun sebenarnya tidak ada yang salah dengan berjalan kaki.

Jadi, kira-kira seperti itulah alasan yang mungkin dapat dipaparkan berdasarkan beberapa perisitwa yang sempat tertangkap oleh indra kognitif saya. Akan tetapi, meski Saya menyatakan tentang perlunya asimilasi, tetap ada satu hal harus dijaga wujudnya, yakni jati diri. Jika paradigma bisa dilebur, maka jati diri adalah solid. Tidak berfusi apalagi menyublim. Karena sejatinya, dalam jati diri terdapat tujuan. Jika tujuan sudah melebur maka habis sudahlah kisah rantauan itu. Jadi, jika kini seorang Bugis-Makassar dapat berbagi piring dengan yang lain, telinga masih harus tetap tertutup.

Jangan dengarkan apa kata orang lain.

Janga mudah terpengaruh oleh perkataan orang lain.

Lakukan apa yang perlu kau lakukan.

Percaya dengan apa yang perlu kau lakukan.

Karena untuk mengejar mimpi, terkadang kita perlu sedikit egois.

One thought on “Alasan

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s